Pengertian Sutrah
Sutrah adalah sesuatu yang dijadikan sebagai penghalang, apa pun bentuk/jenisnya. Sutrah orang yang shalat adalah apa yang ditancapkan dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang shalat. Sutrah harus ada di hadapan orang yang sedang shalat karena dengan shalatnya berarti ia sedang bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala. Sehingga, bila ada sesuatu yang lewat di hadapannya akan memutus munajat tersebut serta mengganggu hubungan ia dengan Allah subhanahu wata’ala dalam shalatnya. Oleh sebab itu, siapa yang sengaja lewat di depan orang shalat, ia telah melakukan dosa yang besar. (Al-Mausuโatul Fiqhiyah, 24/178, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939, Taudhihul Ahkam, 2/58)
Hukum Sutrah
Hukum sutrah diperselisihkan oleh ahlul ilmi, antara yang berpendapat wajib dengan yang berpendapat sunnah. Jumhur ulama berpendapat hukumnya sunnah, sehingga berdasarkan pendapat ini bila ada yang lewat di hadapan orang yang shalat sementara tidak ada sutrah di hadapannya tidaklah membatalkan shalatnya1, namun hanya mengurangi (nilai) shalatnya. Di samping itu, sutrah merupakan penyempurna shalat yang dikerjakan, ia tidak masuk dalam amalan shalat. Dengan begitu, hal ini merupakan indikasi (qarinah) yang mengeluarkan perkaranya dari wajib kepada mustahab. (Asy-Syarhul Mumtiโ1/728, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, 2/939-940, Taudhihul Ahkam, 2/58).
Pendapat jumhur ini berdalil dengan:
โ Hadits Abu Saโid Al-Khudri secara marfuโ:
ุฅูุฐูุง ุตููููู ุฃูุญูุฏูููู ู ุฅูููู ุดูููุกู ููุณูุชูุฑููู ู ููู ุงููููุงุณูุ ููุฃูุฑูุงุฏู ุฃูุญูุฏู ุฃููู ููุฌูุชูุงุฒู ุจููููู ููุฏููููู ููููููุฏูููุนูููุ ููุฅููู ุฃูุจู ููููููููุงุชููููู ููุฅููููู ูุง ูููู ุดูููุทูุงูู
โApabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia, lalu ada seseorang ingin lewat di hadapannya, hendaknya ia menolak/mencegahnya. Bila orang yang hendak lewat itu enggan tetap memaksa untuk lewat maka hendaknya ia memeranginya karena dia itu setan.โ (HR. Al-Bukhari no. 509 dan Muslim no. 1129)
Ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: โApabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sesuatu yang bisa menghalanginya dari manusia,โ menunjukkan bahwa orang yang shalat bisa jadi di depannya ada sesuatu yang menghalanginya dan bisa pula tidak ada. Karena konteks seperti ini menunjukkan demikian, tidak semua orang shalat menghadap sutrah.
โ Hadits Ibnu โAbbas:
ุฃูููุจูููุชู ุฑูุงููุจูุง ุนูููู ุญูู ูุงุฑู ุฃูุชูุงูู ููุฃูููุง ููููู ูุฆูุฐู ููุฏู ููุงููุฒูุชู ุงููุงูุญุชููุงูู ู ููุฑูุณููู ุงูููู n ููุตููููู ุจูุงููููุงุณู ุจููู ูููู ุฅูููู ุบูููุฑู ุฌูุฏูุงุฑูุ ููู ูุฑูุฑูุชู ุจููููู ููุฏููู ุจูุนูุถู ุงูุตูููููุ ููููุฒูููุชู ููุฃูุฑูุณูููุชู ุงููุฃูุชุงููู ุชูุฑูุชูุนู ููุฏูุฎูููุชู ููู ุงูุตูููููุ ููููู ู ููููููุฑู ุฐููููู ุนูููููู ุฃูุญูุฏู
โAku datang dengan menunggang keledai betina, saat itu aku menjelang ihtilam (mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah n sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau. Lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya aku turun dari keledai tersebut dan aku membiarkannya pergi merumput. Kemudian aku masuk (bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku tersebut.โ (HR. Al-Bukhari no. 493 dan Muslim no. 1124 namun tanpa lafadz: ุฅูููู ุบูููุฑู ุฌูุฏูุงุฑู)
Dari lafadz ุฅูููู ุบูููุฑู ุฌูุฏูุงุฑู (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau) dipahami bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat tanpa ada sutrah di hadapannya.
โ Hadits Ibnu โAbbas juga, ia berkata:
ุตููููู ุงููููุจูููู n ููู ููุถูุงุกู ููููุณู ุจููููู ููุฏููููู ุดูููุกู
โNabi n pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.โ (HR. Ahmad 1/224 dan Al-Baihaqi 2/273)
Pendapat yang lain adalah sutrah hukumnya wajib. Dalilnya antara lain sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
ูุงู ุชูุตูููู ุฅููุงูู ุฅูููู ุณูุชูุฑูุฉูุ ูููุงู ุชูุฏูุนู ุฃูุญูุฏูุง ููู ูุฑูู ุจููููู ููุฏููููู ููุฅููู ุฃูุจูู ููููุชูููุงุชูููููุ ููุฅูููู ู ูุนููู ุงููููุฑููููู
โJanganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap ngotot ingin lewat, โpent.), perangilah karena bersamanya ada qarin (setan).โ (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata Al-Imam Al-Albani dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/115: โSanadnya jayyid.โ)
Demikian pula perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah untuk shalat yang ditunjukkan dalam hadits Ibnu โUmar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (no. 494) dan Muslim (no. 1115) dalam Shahih keduanya. Dan inilah pendapat yang rajih dan menenangkan hati kami. Wallahu aโlam bish-shawab.
Adapun dalil yang dipakai oleh jumhur dijawab sebagai berikut:
1. Hadits Abu Saโid yang menunjukkan bahwa seseorang yang shalat terkadang di hadapannya ada sutrah dan terkadang tidak ada, hal ini terjawab dengan adanya hadits di atas yang sharih (jelas) yang melarang shalat tanpa sutrah, dan juga perintah beliau untuk menancapkan tombak sebagai sutrah.
2. Hadits Ibnu โAbbas radhiallahu ‘anhu:
ููุฑูุณููู ุงูููู n ููุตููููู ุจูุงููููุงุณู ุจููู ูููู ุฅูููู ุบูููุฑู ุฌูุฏูุงุฑู
โSementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat mengimami manusia di Mina tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau.โ
Tidaklah menampik kemungkinan beliau shalat menghadap selain tembok/dinding. Ibnu Daqiqil โId tmenyatakan bahwa tidak adanya tembok/dinding bukan berarti meniadakan sutrah. (Ihkamul Ahkam fi Syarhi โUmdatil Ahkam, bab Al-Murur baina Yadayil Mushalli, hadits no. 109)
Hadits ini diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan Bab: Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum/orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian, berarti Al-Imam Al-Bukhari tidak memahami tidak adanya sutrah dari hadits ini. Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-โAsqalani menjelaskan, โSeakan-akan Al-Bukhari membawa perkara ini pada kebiasaan yang maโruf dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu tidaklah beliau melakukan shalat di tanah lapang melainkan sebuah tombak ada di hadapan beliau (sebagai sutrahnya).โ (Fathul Bari, 1/739)
Di samping itu, ada perselisihan para rawi yang membawa riwayat dari Al-Imam Malik pada lafadz ุฅูููู ุบูููุฑู ุฌูุฏูุงุฑู (tanpa ada tembok/dinding di hadapan beliau). Ada di antara mereka yang menyebutkannya dan ada yang tidak. Dan ternyata rawi yang tidak menyebutkan lafadz ini lebih banyak jumlahnya dan lebih tinggi kedudukannya dibanding rawi yang menyebutkannya.
Karena itulah kebanyakan penyusun kitab hadits shahih seperti Al-Imam Muslim, Abu โAwanah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan selainnya, tidak membawakan lafadz ini. Bahkan Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya mengisyaratkan tidak tsabit (shahih)nya lafadz ini dengan adanya kepastian bahwa Rasulullah n shalat bersutrah dengan tombak. (Adh-Dhaโifah oleh Al-Imam Al-Albani, pembicaraan pada hadits 5814)
3. Sedangkan hadits:
ุตููููู ุงููููุจูููู n ููู ููุถูุงุกู ููููุณู ุจููููู ููุฏููููู ุดูููุกู
โNabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat di tanah lapang sementara tidak ada sesuatu di hadapan beliau.โ
adalah hadits yang lemah karena dalam sanadnya ada Al-Hajjaj bin Arthah, seorang rawi yang lemah. Kata Al-Hafizh dalam Taqrib-nya hal.92, โIa adalah rawi yang shaduq, namun banyak salahnya dan melakukan tadlis.โ (Adh-Dhaโifah no. 5814)
Al-Imam Al-Albani ketika membantah ucapan Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya berkata, โPendapat yang mengatakan sutrah itu mustahab menentang nash yang berisi perintah shalat di hadapan sutrah yang disebutkan dalam sejumlah hadits, salah satunya bahkan dibawakan oleh penulis (Sayyid Sabiq). Pada sebagian hadits tersebut ada larangan mengerjakan shalat bila di depan seorang yang shalat tidak ada sutrah. Ibnu Khuzaimah menjadikan hadits ini sebagai judul bab dalam kitab Shahih-nya. Beliau dan Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu โUmar secara marfuโ:
ูุงู ุชูุตูููู ุฅููุงูู ุฅูููู ุณูุชูุฑูุฉู โฆ
โJangan engkau shalat kecuali menghadap sutrahโฆ.โ
Beliau juga berkata, โTermasuk perkara yang menguatkan kewajiban sutrah, adanya sutrah di hadapan orang yang shalat merupakan sebab syarโi tidak batalnya shalat orang tersebut dengan lewatnya wanita yang sudah baligh, keledai, dan anjing hitam di hadapan sutrahnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits yang shahih. Juga dengan adanya sutrah, orang yang shalat tersebut berhak menahan orang yang ingin lewat di hadapannya. Demikian pula hukum-hukum lain yang berkaitan dengan sutrah. Al-Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/2) dan As-Sailul Jarar (1/176) memegang pendapat yang mewajibkan sutrah ini. Dan pendapat ini merupakan dzahir ucapan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (4/8-15).โ (Tamamul Minnah, hal. 300)
Mendekat kepada Sutrah
Orang yang meletakkan sutrah atau menjadikan sesuatu yang ada di hadapannya sebagai sutrah, harus mendekat dengan sutrahnya tersebut agar setan tidak mengganggu shalatnya. Sebagaimana hal ini diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
ุฅูุฐูุง ุตููููู ุฃูุญูุฏูููู ู ุฅูููู ุณูุชูุฑูุฉู ููููููุฏููู ู ูููููุงุ ูุงู ููููุทูุนู ุงูุดููููุทูุงูู ุนููููููู ุตููุงูุชููู
โApabila salah seorang dari kalian shalat menghadap sutrahnya (yang ada di hadapannya), hendaklah ia mendekat ke sutrah tersebut agar setan tidak memutus shalatnya.โ (HR. Abu Dawud no. 695, dishahihkan Al-Imam Al-Albaniย dalam Shahih Abi Dawud)2
Yang dimaksud dengan โagar setan tidak memutus shalatnyaโ adalah agar setan tidak meluputkan konsentrasinya dengan mendatangkan was-was dan menguasainya dalam shalatnya.
Kata Asy-Syaikh โAli Al-Qari, โDiambil faedah dari hadits ini bahwa sutrah dapat mencegah berkuasanya setan terhadap seseorang yang sedang shalat dengan memasukkan was-was ke dalam hatinya. Bisa jadi seluruh shalatnya dikuasai oleh setan, bisa pula sebagian shalatnya. Semuanya tergantung kejujuran orang yang shalat tersebut serta bagaimana penghadapan hatinya kepada Allah Subhanahu wata’ala dalam shalatnya. Sementara, tidak memakai sutrah akan memungkinkan setan untuk menghilangkan apa yang sedang dihadapinya berupa perasaan khusyuk, tunduk, tadabbur Al-Qur`an, dan dzikir.โ (Ashlu Shifah Shalatin Nabi n, 1/115)
Sahl bin Saโd As-Saโidi berkata:
ููุงูู ุจููููู ู ูุตููููู ุฑูุณูููู ุงูููู n ููุจููููู ุงูููุฌูุฏูุงุฑู ู ูู ูุฑูู ุงูุดููุงุฉู
โJarak antara tempat berdirinya Rasulullah n dalam shalatnya3 dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.โ (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
Al-Imam An-Nawawi menyatakan, โDalam hadits ini menunjukkan bahwa merupakan perkara sunnah seorang yang shalat mendekat dengan sutrahnya.โ (Al-Minhaj, 4/449)
Salamah ibnul Akwaโ menyebutkan:
ููุงูู ุฌูุฏูุงุฑู ุงูููู ูุณูุฌูุฏู ุนูููุฏู ุงูููู ูููุจูุฑุ ู ูุง ููุงุฏูุชู ุงูุดููุงุฉู ุชูุฌูููุฒูููุง
โDinding masjid Rasulullah di sisi mimbar, hampir-hampir seekor kambing tidak dapat melewatinya.โ (HR. Al-Bukhari no. 497)
Maksudnya, jarak antara mimbar dengan dinding masjid dekat, sementara ketika shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di samping mimbar, karena tidak ada mihrab dalam masjid beliau. Sehingga, jarak antara beliau dengan dinding sama dengan jarak antara mimbar dengan dinding, yaitu sekadar hanya bisa dilewati seekor kambing.
Ibnu Baththal berkata, โIni jarak minimal seseorang yang shalat dengan sutrahnya, yaitu sekadar bisa dilewati seekor kambing.โ Ada yang mengatakan jaraknya tiga hasta dan ini pendapat kebanyakan ahlul โilmi. (Raddul Mukhtar Hasyiyatu Ibnu โAbidin 2/402, Al-Mughni Kitabus Shalah, fashl Dunu minas Sutrah, Al-Hawil Kabir 2/209, Al-Majmu` 3/226)
Dalilnya adalah hadits Bilal:
ุฅูููู ุงููููุจูููู n ุตููููู ููู ุงููููุนูุจูุฉู ููุจููููููู ููุจููููู ุงูููุฌูุฏูุงุฑู ุซููุงูุซูุฉู ุฃูุฐูุฑูุนู
โSesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat di Kaโbah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta.โ (Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata: โHadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jamaโah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih4 dari sanad hadits Sahl ibnu Saโd.โ Lihat At-Tamhid 5/37, 38 dan Al-Istidzkar 6/171)
Ad-Dawudi ketika mengompromikan pendapat yang ada menyatakan bahwa yang paling minim adalah sekadar lewatnya seekor kambing dan maksimalnya tiga hasta. Sebagian ulama yang lain juga mengompromikan dengan menyatakan bahwa jarak yang awal adalah pada keadaan berdiri dan duduk, sedangkan jarak yang kedua pada keadaan rukuโ dan sujud. (Fathul Bari, 1/743, Adz-Dzakhirah, 2/157-158)
Al-Baghawi berkata, โAhlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.โ (Syarhus Sunnah, 2/447)
Faedah
Al-Imam Malik berkata, โApabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya.โ (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)
Bergeser seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya. (Adz-Dzakhirah, 2/156). Wallahu aโlam.
Penulis: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
Sumber: https://asysyariah.com/sutrah-dalam-shalat-bagian-1/
1 Di antara mereka juga terdapat silang pendapat dalam batal atau tidaknya shalat seorang yang dilewati oleh wanita, keledai, dan anjing hitam.