Ditulis oleh Ustadz Qomar ZA, Lc.

Pembaca, semoga Allah merahmati kita semua.

Beberapa pertanyaan datang tentang tata cara pelaksanaan shalat Id di rumah. Karena itu, mengenai shalat Id di rumah akan kita bahas insya Allah. Namun, sebelum itu, mengapa shalat Id dilaksanakan di rumah?

Tentu, jawabannya sudah kita maklumi bersama, yaitu karena kondisi wabah virus corona atau Covid-19. Selain itu, juga karena pemerintah kita menganjurkan untuk melaksanakan ibadah di rumah, sebagai salah satu upaya meminimalisir penyebaran virus corona.

………………………

Apakah Shalat Id di Rumah Memiliki Tata Cara Tertentu?

Pada dasarnya, sama saja shalat Id di rumah atau di luar rumah, baik di tanah lapang—dan itulah yang sesuai dengan sunnah (ajaran Nabi)—maupun di masjid.

Hanya saja, ada beberapa hal yang berbeda, sebagaimana akan dijelaskan insya Allah. Karena itu, kita akan menyebutkan secara ringkas adab dan tuntunan shalat Id.

Bagi Anda yang ingin mengetahui lebih rinci beserta dalil-dalilnya, silakan membaca makalah yang sebelumnya pernah kita tulis dengan judul Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri.

Berikut ini adalah ringkasannya, dengan sedikit tambahan pada beberapa masalah.

  1. Mandi sebelum melakukan shalat Id.

  2. Memakai wewangian.

  3. Berhias dengan pakaian yang bagus.

  4. Memakan kurma dalam jumlah ganjil: tiga, lima, atau tujuh butir, sebelum melaksanakan shalat Id.

Apabila tidak ada kurma, memakan sesuatu yang manis, seperti madu; sebagaimana yang disarankan sebagian tabiin, seperti Mu’awiyah bin Qurrah dan Ibnu Sirin.

Bahkan, sekalipun hanya meminum seteguk air, sepantasnya tetap dia lakukan, sebagaimana kata Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (2/447).

  1. Bertakbiran sambil menunggu shalat, dengan lafaz,

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ

Atau,

اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَلِلهِ الْحَمْدُ

  1. Melaksanakan shalat Id pada waktunya.

Waktunya dimulai setelah matahari terbit kira-kira seukuran setinggi tombak (sudah keluar dari waktu larangan shalat) sampai menjelang tengah hari. Disunnahkan shalat Id dikerjakan pada awal waktu.

  1. Tanpa mengumandangkan azan dan iqamah, termasuk tanpa seruan ash-Shalatu jamiah, menurut pendapat yang lebih kuat.

  2. Shalat Id dilaksanakan tetap dua rakaat dengan suara keras atau jahr, dengan niat shalat Id.

Sedikit kita jelaskan bahwa dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama. Ada yang mengatakan, dilakukan empat rakaat. Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu. Ada pula pendapat yang lain. Perinciannya bisa dilihat dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Rajab.

Singkat saja bahwa pendapat yang terkuat adalah tetap dilaksanakan dengan dua rakaat dan dengan takbir tambahan. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat Anas radhiallahu anhu. Ini menjadi pendapat beberapa ulama.

Yang menguatkan pendapat ini adalah bahwa asal shalat Id ialah dua rakaat. Ia tidak berubah menjadi empat rakaat bagi yang tertinggal jamaah lalu melakukannya.

Saat ditanya tentang hal ini, Syaikh al-Albani menjawab, “Diqadha seperti yang terlewatkan, dan ini merupakan kaidah dalam fikih.”

Al-Bukhari menyebutkan,

وَأَمَرَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ مَوْلاَهُمْ ابْنَ أَبِي عُتْبَةَ بِالزَّاوِيَةِ فَجَمَعَ أَهْلَهُ وَبَنِيهِ، وَصَلَّى كَصَلاَةِ أَهْلِ الْمِصْرِ وَتَكْبِيرِهِمْ

“Anas (bin Malik) memerintah budaknya, yaitu Ibnu Abi Utbah di kampungnya, Zawiyah, untuk mengumpulkan keluarga dan anak-anaknya. Lalu dia mengumpulkan mereka dan melakukan shalat (Id) seperti shalatnya penduduk kota dan seperti takbir mereka.”

وقَالَ عَطَاءٌ: إِذَا فَاتَهُ الْعِيدُ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ.

Seorang tabiin, ‘Atha bin Abi Rabah mengatakan, “Jika seseorang terluput dari shalat Idnya, dia shalat dua rakaat.”

Ini juga merupakan pendapat al-Hasan al-Bashri, an-Nakha’i, Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya. Bahkan, Abu Hanifah mengatakan, “Tidak bertakbir melainkan seperti takbir imam, tidak lebih tidak kurang.” (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/169—170)

Adapun yang berpendapat empat rakaat, karena menyamakannya dengan shalat Jumat yang dilakukan di rumah. Padahal shalat Id dan shalat Jumat tidak sama.

  1. Tetap disunnahkan menambah takbir tujuh kali setelah takbiratul ihram pada rakaat pertama, dan lima kali setelah takbir intiqal (takbir saat berdiri) pada rakaat yang kedua, seperti penjelasan ulama di atas.

Dalam hal ini juga ada pendapat yang mengatakan tanpa tambahan takbir. Namun, sebagaimana penjelasan sebelumnya, tata cara shalat Id tidak berubah.

  1. Mengangkat tangan pada takbir tambahan menurut jumhur (mayoritas) ulama.

Adapun Imam Malik berpendapat tidak mengangkat tangan.

  1. Bacaan istiftah, menurut asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan mayoritas ulama, dibaca setelah takbiratul ihram, lalu takbir tujuh kali.

Adapun pendapat al-Auza’i dan Ahmad dalam riwayat lain dari beliau, istiftah dibaca setelah takbir tujuh kali. Imam Ahmad membolehkan setelah takbir tujuh kali atau sebelumnya. (Masa’il Imam Ahmad riwayat putranya, Abdullah, 132)

Hal ini mungkin karena tidak ada riwayat yang jelas yang menentukan di mana letak istiftah tersebut.

  1. Apakah ada bacaan di antara takbir-takbir tersebut?

Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam bacaan apa pun di sela-sela takbir-takbir tambahan. Hanya saja, diriwayatkan dari sebagian sahabat, seperti Ibnu Mas’ud,

بَيْنَ كُلِّ تَكْبِيرَتَيْنِ حَمْدٌ لِلهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَثَنَاءٌ عَلَى اللهِ

“Di antara tiap dua takbir, adalah pujian dan sanjungan kepada Allah azza wa jalla.” (Riwayat al-Muhamili dalam kitab al-‘Idain. Syaikh al-Albani mengatakan [Irwa’ul Ghalil, 3/115], “Ini sanad yang bagus.”)

Jadi, yang tidak membaca dibolehkan; yang membaca pun dibolehkan.

  1. Bacaan surah, tidak diharuskan surah tertentu.

Akan tetapi, sunnahnya ialah pada rakaat pertama membaca surah al-A’la dan pada rakaat kedua surah al-Ghasyiyah; atau pada rakaat pertama membaca surah Qaf dan pada rakaat kedua membaca surah al-Qamar .

  1. Apakah dengan khotbah?

Bagi yang shalat sendirian, tentu saja tanpa khotbah. Bagaimana halnya bagi yang berjamaah?

Khotbah dalam shalat Id adalah sunnah, menurut empat mazhab. (Raddul Mukhtar, 2/175; Minahul Jalil, 1/466; Mughnil Muhtaj, 1/589; alInshaf, 3/353)

Dengan demikian, shalat Id tetap sempurna sekalipun tanpa khotbah. Ibnul Qasim mengatakan,

“Tidak wajib menghadiri khotbah dan tidak wajib mendengarkannya. Tidak hanya satu orang ulama yang mengatakan bahwa ulama yang mewajibkan shalat Id dan ulama lainnya telah bersepakat tentang tidak wajibnya khotbah. Kami tidak ketahui ada seorang ulama yang mewajibkannya.

Al-Muwaffaq mengatakan, hanyalah khotbah itu diakhirkan setelah shalat—wallahu a’lam—karena hukumnya tidak wajib. Karena itu, khotbah ditempatkan pada waktu yang memungkinkan orang yang ingin meninggalkannya untuk meninggalkannya.” (Hasyiyah arRaudhul Murbi’ 2/513)

Hukum ini berlaku dalam kondisi normal. Alasannya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mewajibkan mendengarkan khotbah. Dengan demikian, ini berarti bahwa khotbah itu tidak wajib. (Hasyiyah arRaudhul Murbi’ 2/513)

Ibnu Rajab menerangkan bahwa sebagian ulama berpendapat, bagi yang tertinggal shalat Id boleh melakukannya baik dengan sendirian maupun berjamaah.

Beliau lalu mengatakan, “Akan tetapi, tidak melakukan khotbah setelah imam berkhotbah. Sebab, hal itu merupakan sikap menyempal dari imam dan bisa memecah-belah persatuan.” (Fathul Bari 6/173)

Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan, dahulu Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu memerintah seseorang untuk mengimami orang-orang (yang lemah dan tidak bisa mengikuti jamaah) agar shalat di Masjid Kufah dua rakaat. Ibnu Abi Laila mengatakan, “Shalat dua rakaat.”

Seseorang bertanya kepada Ibnu Abi Laila, “Shalat tanpa khotbah?” “Ya,” jawabnya. (alMushannaf 2/5)

Bisa jadi, dengan pertimbangan ini, Komisi Fatwa Kerajaan Arab Saudi (al-Lajnah ad-Daimah) berfatwa:

“Barang siapa terlewatkan shalat Id dan ingin mengqadhanya, disunnahkan baginya melakukannya seperti tata caranya, tanpa khotbah.”

  1. Boleh shalat Id sendirian dalam kondisi khusus.

Saat menukilkan pendapat ulama yang membolehkan mengqadha shalat Id seperti yang dikerjakan imam—yaitu pendapat an-Nakha’i, Malik, asy-Syafi’i, Abu Tsaur dan Ibnu Mundzir—Ibnu Qudamah mengatakan,

“… Karena ini adalah qadha bagi sebuah shalat, ia dilakukan sesuai tata caranya, sebagaimana mengqadha shalat-shalat lain. Seseorang diberi pilihan, melakukannya sendirian atau berjamaah.”

Imam Ahmad pun pernah melakukan (shalat Id) sendirian saat beliau bersembunyi. (Masa’il Imam Ahmad riwayat putranya, Abdullah, 130)

  1. Musafir disunnahkan tidak shalat Id. Namun, apabila dia melakukannya, hukumnya sah.

Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak diperselisihkan bahwa shalat Id tidak wajib bagi penduduk kampung (terpencil) dan para musafir. Perbedaan pendapat ulama adalah dalam hal sah atau tidaknya shalat itu apabila mereka melakukannya. Mayoritas ulama berpendapat sah dan boleh.”

Az-Zuhri mengatakan, “Tidak ada kewajiban shalat Idul Fitri maupun Idul Adha bagi musafir, kecuali jika dia berada di sebuah desa atau kota sehingga ikut (shalat Id) bersama penduduk.

Penutup

Demikian penjelasan yang bisa kami sampaikan. Kami memohon maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan. Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menerima amal ibadah kita selama Ramadhan dan selain Ramadhan. Semoga pula Allah memaafkan kekurangannya.

Selamat berhari raya. Semoga tetap berbahagia walau beriring duka. Semoga kesedihan ini segera Allah ganti dengan berlipat-lipat kebahagiaan. Semoga pula wabah ini segera berakhir dan berganti dengan berkah.

 

Temanggung, Senin, malam 25 Ramadhan 1441 H, bertepatan dengan 18 Mei 2020 M

Artikel selengkapnya bisa dibaca di sini https://asysyariah.com/tata-cara-shalat-id-di-rumah/

By

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.