ATAP JAWA BARAT: Mendaki gunung Ciremai dengan ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut (MDPL) merupakan aktivitas olah raga yang menyenangkan, termasuk bagi tiga santri MI (setingkat SD) Ponpes Dhiya'us Sunnah, 15-16 Agustus 2022.
ATAP JAWA BARAT: Mendaki gunung Ciremai dengan ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut (MDPL) merupakan aktivitas olah raga yang menyenangkan. Termasuk bagi tiga santri MI (setingkat SD) Ponpes Dhiya’us Sunnah, 15-16 Agustus 2022. (Foto: dok. pribadi)

BUPATI Kuningan, H Acep Purnama SH MH, melepas tim pendaki gabungan dari jalur Palutungan, Senin (15/8/2022).

Di saat yang sama, tiga santri MI Ponpes Dhiya’us Sunnah Cirebon, bersiap pula memulai pendakian. Ada Zaid dan Ali (kelas 6), serta adiknya Muhammad (kelas 1). Mereka didampingi sang ayah, Abu Ali Rona.

Pendaki gabungan terdiri dari unsur Pemkab Kuningan, Tim Ekspedisi Trisakti, Basarnas, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pemuda pecinta alam dan aktivis lingkungan.

Penulis berkesempatan menyapa Bupati Acep dan berjabat tangan. Beliau menyambut positif giat pendakian santri MI Ponpes Dhiya’us Sunnah. Pemkab Kuningan mendukung setiap aktivitas positif yang dilakukan pelajar dan generasi muda Indonesia.

Pagi itu, langit berawan. Sinar mentari malu-malu menyentuh bumi. Deret pepohonan pinus menjadi saksi perpisahan. Tim pendaki gabungan menuju gerbang pendakian Palutungan (agak di bawah buper Ipukan). Sedangkan santri Ponpes Dhiya’us Sunnah bergerak menuju Cigowong (Pos 1), pukul 10.00 WIB.

Perbekalan ada dalam satu carrier dan tiga daypack. Tenda dome dijinjing. Kebutuhan air terpenuhi, sejak awal meninggalkan Ipukan. Sebenarnya pengisian air bisa di Cigowong. Namun, air kemasan yang dibawa baru semua. Bukan botol atau jeriken kosong.

Sampai Cigowong pukul 11.30. Kami rehat menikmati makan siang. Uap dingin dari mulut keluar tiap kali bicara. Cuaca mendung. Udara dingin khas pegunungan, terasa makin menggigit.

Usai menjamak salat zuhur dan asar, kami bersiap. Melanjutkan petualangan. Memasuki rimba Ciremai. Hujan perlahan turun. Alhamdulillah, semangat tak kendur. Kondisi fisik ketiga santri tampak baik.

Rombongan pendaki Pemkab Kuningan dan Tim Ekspedisi Trisakti tiba. Mereka membuka tenda dome merah. Akan bermalam dulu di Cigowong. Salah seorang anggota tim menghampiri. Ternyata kenalan lama. Anggota DPRD Kota Cirebon: Cicip Awaludin SH.

Kang Cicip menyemangati ketiga santri. Penulis bersyukur. Pendakian ini berlangsung di tengah acara tim pendaki gabungan. Sehingga suasana ndak sepi-sepi banget. Komponen SAR juga standby, mengawal pejabat pemda yang turut mendaki.

Tenda tim pendaki gabungan di Pos 1 Cigowong.

Kami meninggalkan Cigowong beserta warung, mushola dan fasilitas MCK-nya, pukul 13.00. Tidak akan ditemukan lagi yang demikian di atas. Menuju tujuh pos berikutnya.

Guyuran air langit tambah deras. Mengiringi langkah saya, Zaid, Ali dan Muhammad. Basah hujan cukup menghambat pergerakan. Dingin belum terlalu menusuk. Praktiknya ketika kita aktif bergerak, tubuh mengeluarkan energi panasnya.

Pos 2 (Kuta) dan Pos 3 (Paguyangan Badak) kami lewati. Rencana buka tenda di Pos 4 (Arban). Jam di hape menunjukkan pukul 16.00. Tapi suasana sudah seperti mau magrib.

Menjelang pukul 17.00, kami putuskan berhenti. Hujan makin menjadi. Tenda berdiri di dataran menuju Arban. Malam begitu hening. Sepi. Di tengah belantara hutan lebat.

Pakaian yang basah kami ganti. Lantas segera membuat air panas, ngeliwet nasi, dan memasak sarden pedas. Hmmm… Nikmatnya, ya Allah…

Muhammad sempat kedinginan. Setelah memakai pakaian kering, jaket dan masuk sleeping bag, kondisinya normal kembali. Selepas menjamak salat magrib dan isya dalam tenda kapasitas lima orang itu, kami berusaha tidur.

Badan merengkel, kaki pegel, tapi seneng. Bisa bertualang bersama anak menziarahi belantara gunung tertinggi di Jawa Barat.

(Atas) Kabut dan hujan di Pos 3. (Bawah) Pos 4.

Oya, pendakian ke Ciremai ini, untuk saya sendiri yang ke delapan kali. Terakhir muncak tahun 2012. Sudah satu dekade lewat. Sementara perdana mengenal pendakian gunung, 2001 lampau. Saat duduk di kelas 1 SMA.

Hari kedua, Selasa (16/8/2022), pendakian dilanjutkan. Pukul 06.30, selesai sarapan rendang sapi dan sisa sarden semalam, kami kembali berjalan. Tenda ditinggal. Beban hanya membawa dua daypack. Berisi perbekalan air, kompor gas mini, snack dan sereal.

Muhammad paling depan. Saya menempelnya. Sedangkan si kembar di belakang. Kami melalui Pos 4 (Arban), Pos 5 (Tanjakan Asoy), dan Pos 6 (Pasanggrahan). Perjalanan terasa mengasyikkan, karena lutung hitam, tupai gunung serta kicau burung setia menemani.

Pengalaman yang berkesan. Bisa melihat binatang-binatang itu langsung di hutan tempat tinggalnya. Cuaca cerah. Sinar mentari berhasil menembus lebat pepohonan. Langit biru begitu menggoda. Ingin segera sampai di puncak.

Pos 7 (Sanghiyang Ropoh) adalah batas vegetasi. Demarkasi hutan hujan tropis dan hutan dataran tinggi. Pepohonan besar nan lebat, yang menjulang tinggi mulai tidak ada. Berganti pohon cantigi dan edelweis.

(Atas) Pemandangan bunga edelweis jalur Pos 7 – Simpang Apuy – Goa Walet. (Bawah) Meluruskan kaki di Simpang Apuy.

Jalur pendakian makin curam menanjak. Pijakan yang tadinya tanah lembab khas hutan hujan tropis, berganti trek pasir berbatu. Batunya ada yang sedang, besar sampai super gede.

Simpang Apuy; pertemuan jalur Apuy (Majalengka) dan Palutungan, kami lewati. Di titik ini ada plakat In Memoriam; penanda pendaki yang meninggal dunia.

Hari beranjak siang. Pukul 12.00, kami tiba di Pos 8 (Goa Walet). Di dalam goa, batuan stalagtit meneteskan air. Kebiasaan para pendaki, tetesan air itu ditampung dalam botol-botol bekas. Bisa untuk isi ulang, jika kehabisan air saat menuju atau turun dari puncak.

Pukul 12.30, kami sampai di puncak. Langsung sujud syukur. Bertahmid dan bertakbir. Kawah besar membentang di depan. Daleeeemm banget. Sementara saat membalikkan badan, pemandangan langit biru dengan gumpalan awan tampak mempesona.

Kawah gunung Ciremai.

Pohon edelweis menaungi. Bunganya harum. Kami berteduh sambil memasak air panas. Menyeduh sereal. Menikmati camilan. Lalu menjamak salat zuhur dan asar di tanah tertinggi pulau Jawa bagian Barat.

Kami turun dari puncak, pukul 13.30. Menyusuri trek berbatu yang curam. Saya ingatkan anak-anak agar tetap fokus. Tidak bergurau. Banyak berdoa dan berzikir.

Seperti yang sudah diperkirakan. Ketika kami turun 16 Agustus, pendaki yang naik untuk merayakan 17 Agustus di puncak, berduyun datang. Kami berpapasan, dan mereka selalu termotivasi saat melihat anak kecil (Muhammad) turun gunung.

“Ayo, semangat… Malu sama anak kecil,” kata para pendaki di jalur pendakian.

Di Pos 6 (Pasanggarahan), kami berjumpa dengan tim pendaki gabungan. Beda saat pagi lewat situ, sepi. Sore hari, dataran Pos 6 sudah dipenuhi aneka model dan warna tenda. Ramai. Semarak.

Headlamp mulai kami pasang di kepala. Malam menjelang. Hujan intensitas sedang kembali turun. Langkah terasa gontai. Tapi semangat tak boleh padam. Saya, Muhammad, Zaid dan Ali, jalan beriringan.

Alhamdulillah, pukul 19.00 kami sampai di tenda yang ditinggalkan pagi tadi. Udara tak terlalu dingin. Hanya saja, kami sangat butuh tukang pijat hehe…

Kami segera ngeliwet nasi, merebus telur, dan memasak mi soto Lamongan. Tak lupa nyeruput teh manis hangat. Seraya terus bersyukur atas karunia dan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala, yang memudahkan perjalanan ini. La hawla wala quwwata illa billah… Allahuakbar… (abu ali)

Padang edelweis di punggungan menuju puncak.

Goa Walet, 2022.
Pos 5 Tanjakan Asoy.
Tenda kami di jalur antara Pos 3 dan Pos 4.
Papan peringatan.
Perbekalan.

Baca juga:

 

By

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.