Beberapa kondisi Ta’dil global tetap lebih didahulukan daripada Jarh Mufassar
KETIGA, Apabila sang mu’addil (pemberi ta’dil) mengetahui ucapan sang jarih (pemberi jarh) dan ia (mu’addil) menjelaskan dengan hujjah dan bukti bahwa jarh (kritik/celaan) sang jarih – meskipun merupakan jarh mufassar dan sang jarih bersih dari ta’ashshub dan hawa nafsu – namun jarh-nya tersebut tidak cukup untuk menjatuhkan kedudukan pihak yang dikritik olehnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Terkadang seorang mujtahid meyakini dha’ifnya seseorang, namun bisa jadi mujtahid lainnya justru meyakini ketsiqahan orang tersebut.
Bisa jadi kebenaran bersama mujtahid pertama yang melemahkannya karena ia mengetahui sebab-sebab yang tersembunyi/tidak diketahui oleh mujtahid kedua yang meyakini ketsiqahannya.
Namun bisa jadi pula sebaliknya, kebenaran justru bersama mujtahid kedua yang meyakini ketsiqahannya, karena ia (mujtahid kedua) mengetahui bahwa sebab-sebab tersebut (yang dijadikan landasan oleh mujtahid pertama melemahkan seseorang tersebut) tidaklah menjatuhkan orang tersebut dalam periwayatan dan keadilannya.Bisa jadi karena memang sebab tersebut bukanlah jenis sebab yang menjatuhkan, atau bisa jadi karena orang tersebut memiliki alasan atau ta`wil yang menghalanginya dari jarh.” (Ash-Shawa`iq Al-Mursalah II/556).
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata, “Kaidah Al-Jarh Muqaddam ‘ala At-Ta’dil (Kritik lebih didahulukan daripada pujian/rekomendasi) ini pun tidak secara mutlak. Namun kritik tersebut harus disertai dengan penjelasan. Itu pun tidak secara mutlak pula. Karena bisa jadi kritik disertai dengan penjelasan sebabnya namun ternyata sebab tersebut bukanlah sebab yang menjatuhkan. Maka kita katakan, disertai dengan sebab yang menjatuhkan. (Fatawa Al-Albani fi Al-Madinah wa Al-Imarat hal. 205-206, kumpulan ‘Amr bin ‘Abdil Mun’im Salim).
Hal itu sebagaimana para muhadditsin menelaah jarh (kritik) Al-Imam Syu’bah bin Al-Hajjaj rahimahullah terhadam Al-Minhal bin ‘Amr dengan pernyataannya, “Aku mendatangi rumah Al-Minhal bin ‘Amr, ternyata aku mendengar dari rumahnya suara tanbur (sejenis guitar), maka akupun kembali.”
Pernyataan tersebut diriwayatkan oleh Al-Fasawi dalam (Al-Ma’rifah wa At-Tarikh II/779) dan oleh Al-Khathib dalam Al-Kifayah di bawah bab : Penyebutan sebagian pihak yang merinci jarhnya namun ia sama sekali tidak menyebutkan sesuatu yang bisa menjatuhkan keadilan seseorang.
Ibnul Qayyim setelah menyebutkan kisah Al-Imam Syu’bah di atas berkata, “Inilah sebab jarhnya (terhadap Al-Minhal), dan diketahui bahwa sebab tersebut tidak menjatuhkannya dalam periwayatan haditsnya. Karena maksimalnya kisah tersebut menunjukkan bahwa Al-Minhal mengetahui sebab tersebut dan dalam kondisi bisa berbuat, namun bisa jadi ia memiliki alasan. [1] Sementara bisa jadi pula kejadian tersebut ketika itu ia tidak ada di tempat, tidak dengan izinnya, dan tidak pula dengan sepengetahuannya. Kesimpulannya hadits dari para perawi tsiqah tidaklah bisa ditolak dengan sebab ini dan yang semisalnya.” (Tahdzibus Sunan XIII/91)
Demikian pula tanggapan Ibnu Hibban terhadap jarh sang Amirul Mu`minin fil Hadits Syu’bah bin Al-Hajjaj rahimahullah terhadap Abu Az-Zubair Al-Makki, yaitu ketika beliau ditanya kenapa meninggalkan hadits Abu Az-Zubair?! Maka Syu’bah menjawab : “Aku melihatnya menimbang dan condong dalam timbangan.” (diriwayatkan oleh Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa.
Maka Ibnu Hibban berkata tentang Abu Az-Zubair, “Dia termasuk huffazh, adapun pihak yang mengkritiknya maka dia tidak adil, karena semata-mata orang yang condong dalam timbangan maka tidak semestinya riwayatnya ditinggalkan karena sebab tersebut.” (Ats-Tsiqat V/352).
Maka kenapa para ‘ulama tidak menerima jarh mufassar-nya Syu’bah terhadap Al-Minhal bin ‘Amr dan Abu Az-Zubair Al-Makki?? Padahal bobot dan kualitas Syu’bah adalah sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ahmad, “Syu’bah seorang adalah (seperti) satu umat dalam bidang ini (yakni ilmu hadits dan rijal).”?!
Saya tujukan pertanyaan ini kepada orang-orang yang mencomot kaidah di atas secara mutlak untuk mengaburkan pemahaman umat, tanpa melihat dan memperhatikan batasan-batasan dan ketentuan-ketentuannya.
Demikian juga, tatkala Adz-Dzahabi melihat jarh Al-‘Uqaili terhadap Al-Imam ‘Ali bin Al-Madini, dan dimasukkan oleh Al-‘Uqaili ke dalam kitabnya Adh-Dhu’afa, gara-gara fitnah Khalqul Qur`an. Maka Adz-Dzahabi membantah Al-‘Uqaili dalam Mizan I’tidal (III/140) dengan bantahan yang sangat bagus, terlalu panjang untuk dinukil di sini.
Seperti ini pula, pernyataan Al-Imam Adz-Dzahabi : “Ayyub bin Abi Syaibah telah mengingkari Al-Imam Yahya bin Ma’in terkait dengan hadits dari Hafsh bin Ghiyats. Aku sebutkan hal ini supaya diketahui bahwa tidak semua celaan terhadap seorang hafizh berpengaruh (terhadap kedudukan dan kredibilitasnya). Yahya bin Ma’in sudah melampaui puncak yang sangat tinggi, bahkan dia telah melampaui dari arah timur ke arah barat rahimahullah.” (Mizanul I’tidal IV/410).
Seperti ini pula, pernyataan Al-Imam Adz-Dzahabi pada biografi Hisyam bin ‘Urwah : “Salah seorang tokoh besar, hujjah, imam, namun pada usia tuanya hafalannya berkurang namun tidak tercampur sama sekali. Dan tidak dianggap sama sekali pernyataan Abul Hasan bin Al-Qaththan bahwa dia (Hisyam bin ‘Urwah) dan Suhail bin Abi Shalih tercampur dan berubah hafalannya. Memang benar, bahwa padanya ada sedikit perubahan (pada usia lanjut) dan hafalannya tidak seperti ketika masa muda, dia pun lupa beberapa hafalannya atau keliru, jika demikian maka kenapa?! Apakah dia ma’shum dari lupa?? (Mizanul I’tidal IV/410)
Demikian juga dalam fitnah ini, kalau pun benar bahwa Syaikh Yahya waffaqahullah tidaklah berbicara karena dorongan hawa nafsu, bukan pula karena kepentingan pribadi, maka itu tidak menjadi alasan untuk menerima pernyataannya menghizbikan Asy-Syaikh ‘Abdurrahman Al-‘Adani rahimahullah sebagaimana banyak didengung-dengungkan oleh sebagian orang-orang jahil yang tidak memahami kaidah-kaidah ilmu hadits sebagaimana mestinya.
Terkadang seorang ‘alim sunny yang bersih dari ashabiyyah dan hawa nafsu menjarh ‘alim yang lainnya dengan jarh mufassar, namun para ‘ulama tidak menerima jarh-nya tersebut. Disebabkan jarh tersebut meskipun mufassar namun tidak cukup untuk menjatuhkan kedudukan dan kridibilitas pihak yang dikritik. Sebaimana yang dilakukan oleh para imam dalam menyikapi cercaan Syu’bah terhadap Al-Minhal bin ‘Amr, cercaan Ibnul Qath-than terhadap Hisyam bin ‘Urwah – sebagaimana contoh di atas – padahal Syu’bah dan Ibnul Qath-than dalam jarhnya bersih dari ashabiyyah dan nafsu, dalam anggapan kita, wallahu hasibuh.
Apabila Syaikh Yahya – alhamahullah rusydahu – dan para pengikutnya tidak mau kecuali bersikukuh berpegang pada kaidah : “jarh mufassar lebih dikedepankan daripada ta’dil mubham” tanpa memperhatikan batasan-batasan dan ketentuan-ketentuannya, maka mestinya dia (Syaikh Yahya) menerima jarh Syaikhnya Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi rahimahullah terhadapnya, yaitu ketika beliau menyifatinya sebagai kadzdzab (pendusta).
Demikian pula, mestinya dia (Syaikh Yahya) menerima jarh Al-‘Allamah ‘Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah terhadapnya, bahwa dia terhalangi dari sifat hilm dan hikmah, bahwa dia tidak mengerti dhawabith hizbiyyah, dan bahwa dia kasar ucapannya tajam lisannya.
Maka silakan beramal dengan kaidah tersebut secara mutlak, dan jangan sampai engkau menjadi orang yang memiliki kaidah, “hakku adalah benar, sementara hak orang lain tidak benar.” Wallahul Musta’an.
[ dinukil dari risalah berjudul Mahakadza Turadu Ya Yahya Al-Ibila karya ‘Abdullah bin Ahmad Al-Khaulani ]
[1] Yakni ini kemungkinan terburuknya dari apa yang disebutkan oleh Al-Imam Syu’bah. Ini pun tidak bisa serta merta dijadikan landasan kritik, karena bisa jadi Al-Minhal memiliki alasan. Jika kemungkinan terburuk ini saja tidak bisa serta merta jadi landasan kritik, maka bagaimana sementara di sana masih banyak kemungkinan-kemungkinan lain sebagai disebutkan oleh Ibnul Qayyim pada kalimat berikutnya.
Sumber: http://www.manhajul-anbiya.net/kapan-tadil-tetap-didahulukan-3/