Kisah Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam banyak memberikan pelajaran berharga bagi umat sesudahnya. Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan kisah tersebut di dalam Al-Qur’an juga agar umat Islam bisa mengambil pelajaran tersebut. Berikut ini beberapa pelajaran yang bisa dipetik.

Rahmat dan limpahan kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya, ada yang mengetahuinya dan ada pula yang tidak. Sebagian dari akhlak para Nabi dan perbuatan yang ihsan adalah membantu memberi minum hewan ternak, terutama terhadap mereka yang lemah. Hal ini ditunjukkan oleh perbuatan Nabi Musa ‘alahissalam bersama dua anak perempuan salah seorang penduduk Madyan, yang beliau melihat keduanya tidak dapat memberi minum ternak mereka sebelum para penggembala lain menjauhi sumur itu.

Allah subhanahu wa ta’ala menyukai apabila ada hamba-Nya yang berdoa dengan bertawassul kepada-Nya melalui namanama dan sifat-sifat-Nya serta nikmat-Nya yang umum ataupun yang khusus. Dia juga menyukai apabila orang yang berdoa itu bertawassul kepada-Nya dengan (menyebutkan) kelemahan, kefakiran serta ketidakmampuannya dalam mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemudaratan dari dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Musa ‘alahissalam dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

رَبِّ إِنِّي لِمَآ أَنزَلۡتَ إِلَيَّ مِنۡ خَيۡرٖ فَقِيرٞ ٢٤

“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (al- Qashash: 24)

Karena sikap yang demikian menunjukkan kerendahan dan ketundukan seseorang dan kefakirannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yang sesungguhnya hal inilah hakikat penghambaan seseorang di hadapan-Nya.

Hidup dan imbalan atas suatu kebaikan sudah merupakan tradisi atau kebiasaan orang-orang yang saleh sejak dahulu. Seorang manusia apabila dia beramal ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala kemudian memperoleh suatu imbalan tanpa dia mengharapkannya, maka tidaklah dia tercela, tidak pula menghapus keikhlasan dan pahalanya. Sebagaimana Nabi Musa ‘alahissalam menerima upah atas kebaikannya yang beliau sendiri tidak menginginkan atau mengharapkan imbalan atas pertolongannya itu.

Bolehnya memberi upah atas suatu pekerjaan yang telah diketahui manfaatnya atau sudah diketahui berapa lama batas waktunya. Patokannya adalah kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Bahkan boleh pula memberi upah sebagai imbalan memperoleh manfaat berupa pernikahan. Sebagaimana yang disebutkan oleh orang Madyan itu dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

قَالَ إِنِّيٓ أُرِيدُ أَنۡ أُنكِحَكَ إِحۡدَى ٱبۡنَتَيَّ هَٰتَيۡنِ

“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini.” (al-Qashash: 27)

Dari ayat ini dibolehkan seseorang menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki bila dia adalah wali bagi perempuan tersebut dan hal itu bukanlah suatu cacat atau aib. Bahkan boleh jadi mengandung manfaat dan menunjukkan kemuliaan. Sebagaimana yang dilakukan orang tua yang saleh di Madyan itu dengan Nabi Musa ‘alahissalam.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengisahkan ucapan salah seorang perempuan itu kepada ayahnya:

إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَ‍ٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja pada kita ialah orang yang kuat lagi tepercaya.” (al-Qashash: 26)

Dengan kedua sifat inilah sempurnanya suatu pekerjaan. Semua bentuk usaha baik perwalian, pelayan, perusahaan, atau pekerjaan yang membutuhkan pemeliharaan dan pengawasan terhadap para karyawan dan pekerjaan mereka, apabila kedua sifat ini yaitu kuat (kesanggupan) mengerjakannya sesuai dengan keadaan pekerjaan itu dan dapat dipercaya melaksanakannya, sempurnalah pekerjaan itu dan tercapailah hasil serta tujuan yang diharapkan. Kesalahan dan kekurangan yang terjadi, sebabnya adalah karena ketiadaan kedua sifat ini pada diri seseorang atau salah satunya.

Termasuk akhlak yang mulia adalah memperbaiki sikap atau perilaku dengan semua yang berhubungan dengan kita. Apakah dia seorang pelayan, buruh, istri, anak, relasi, atau yang lainnya. Di mana seseorang memberikan keringanan bagi seorang yang bekerja pada kita berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,

سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰلِحِينَ ٢٧

“Aku tidak ingin memberatkan kamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang saleh.” (al-Qashash: 27)

Dalam kisah ini, diterangkan bolehnya memberikan semangat kepada relasi atau pegawai dengan imbalan dan upah dengan menerangkan keadaan dirinya sebagai orang yang baik dalam bermuamalah. Akan tetapi tentunya dengan syarat dia jujur dalam menyebutkan hal itu.

Bolehnya pula melakukan akad suatu muamalah persewaan atau yang lainnya tanpa menghadirkan saksi, karena adanya dalil dari firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَٱللَّهُ عَلَىٰ مَا نَقُولُ وَكِيلٞ ٢٨

“Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (al-Qashash: 28)

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa dengan adanya saksi akan memudahkan terjaganya hak-hak orang-orang yang bersangkutan, minimalnya (bila terjadi) persengketaan. Manusia dalam masalah ini bertingkat-tingkat, begitu pula hak mereka masing-masing.

Diterangkan di dalam kisah ini ayat-ayat (tanda kekuasaan) yang sangat jelas. Di mana dengan ayat-ayat itu, Allah subhanahu wa ta’ala memperkuat kedudukan Nabi Musa. Seperti mengubah tongkatnya menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat, lalu mengembalikannya seperti semula. Ketika dia memasukkan tangannya ke leher bajunya lalu mengeluarkannya dalam keadaan putih bercahaya bagi orang-orang yang melihatnya, dan bukan karena penyakit.

Disebutkan pula betapa besar rahmat dan pembelaan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap Nabi Musa dan Harun e dari Fir’aun dan para pembesarnya. Dia membelah lautan ketika Musa ‘alahissalam memukulkan tongkatnya ke laut hingga terbelah menjadi dua belas jalan yang dilalui oleh Musa ‘alahissalam beserta para pengikutnya dengan selamat. Fir’aun dan pasukannya yang mencoba menyusul akhirnya binasa.

Demikian seterusnya. Ayat-ayat dan bukti-bukti yang berturut-turut Allah subhanahu wa ta’ala tunjukkan bagi mereka yang melihat dan menyaksikan kejadian tersebut atau bagi mereka yang hanya mendengar (ketika dibacakan kepada mereka). Karena sesungguhnya sumber penukilannya adalah kitab-kitab samawi dan dinukil turun-temurun, generasi demi generasi. Tidaklah ada yang mengingkari ayat-ayat seperti ini melainkan orang yang bodoh, sombong, dan zindiq. Seperti itu pula ayat-ayat yang ada pada nabi yang lainnya.

Ayat-ayat yang ada pada para nabi dan karamah para wali atau ayat-ayat yang Allah subhanahu wa ta’ala jadikan sebagai sesuatu yang menakjubkan; seperti perubahan sebab akibat atau terhalangnya sesuatu menjadi sebab bagi suatu akibat, atau diperlukannya suatu sebab yang lain bagi suatu akibat, atau adanya penghalang yang merintangi pengaruh sebab itu terhadap suatu akibat, adalah bukti yang nyata tentang wahdaniyyah Allah subhanahu wa ta’ala (keesaan Allah) Dia adalah Dzat Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu. Di mana tidak satu pun persoalan besar ataupun kecil yang lepas dari kodrat Allah subhanahu wa ta’ala.

Mukjizat dan karamah serta perubahan-perubahan ini tidaklah meniadakan semua sebab indrawi dan aturan baku yang telah Allah subhanahu wa ta’ala berlakukan pada makhluk ini. Kita tidak akan mendapati adanya ganti dan perubahan terhadap Sunnatullah ini. Sesungguhnya Sunnatullah pada semua makhluk yang sudah terjadi ataupun yang akan terjadi itu, terbagi dua:

Yang merupakan perkara yang baru (apa yang berhubungan dengan makhluk), kejadian alam, ketetapan hukum syariat atau kodrati, atau yang berkaitan dengan pembalasan, tidaklah akan berubah dan berganti dari semua yang telah diketahui manusia sebabsebabnya.

Bagian ini juga berada di bawah qadha dan qadar Allah subhanahu wa ta’ala. Dari sini kita mengetahui betapa sempurnanya hikmah Allah subhanahu wa ta’ala pada ciptaan dan hukum-hukum syariat-Nya. Siapa saja yang menempuh semua sebab akibat dengan cara yang benar akan mendapatkan buah dan hasil yang baik. Sebaliknya, siapa yang menempuhnya tidak dengan cara yang benar, niscaya tidak akan memperoleh hasil sebagaimana yang telah ditetapkan pada amalan itu menurut kodrat dan syariat.

Ini mendorong seorang manusia agar bersungguh-sungguh dalam menjalankan sebab-sebab yang berkaitan dalam masalah agama dan dunia yang berguna bagi mereka, dengan diiringi doa memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan memuji-Nya, agar memudahkan sebab-sebab itu dan semua perangkatnya.

Kejadian yang berasal dari mukjizat para nabi yang berita kejadiannya dinukil oleh setiap generasi, juga kemuliaan yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada para hamba-Nya dengan dikabulkannya doa mereka, dilepaskannya mereka dari kesulitan, memperoleh apa yang diharapkan dan dijauhkannya semua kemudaratan yang dia tidak mampu melenyapkannya.

Gerbang Rabbani, ilham ilahi, dan cahaya yang Allah subhanahu wa ta’ala letakkan ke dalam makhluk-makhluk pilihan-Nya sehingga menambah keyakinan dan ketenangan jiwa mereka; serta ilmu pengetahuan yang belum tentu dapat diperoleh dengan hanya mempelajarinya atau melakukan sebab-sebab lainnya.

Juga merupakan pertolongan yang diberikan-Nya kepada para Rasul serta para pengikut mereka, bahkan kehinaan yang ditimpakan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya adalah juga perkara yang dapat disaksikan pada sebagian besar perjalanan masa.

Pada bagian kedua ini sama sekali tidak ada peranan makhluk untuk mengetahui sebab-sebab semua kejadian ini. Tidak pula mereka dapat membuat suatu patokan untuk sampai pada hakikat dan kenyataannya. Hanya saja perkara yang baru ini (berupa mukjizat dan seterusnya), sesungguhnya Allah Yang Mahaagung Yang Mahakuasa atas segala sesuatu telah menakdirkan semua sebab-sebab, hukum, dan sunnah-sunnah (ketetapan) yang tidak mungkin dapat dipahami makhluk mana pun. Tidak pula dapat ditangkap dan diperkirakan oleh pancaindra mereka sehingga bisa memahami hakikat kejadian tersebut. Namun para rasul dan para pengikut mereka sejak dari yang pertama sampai kepada yang terakhir beriman kepadanya.

Dengan perkara ini pula semakin jelaslah keagungan Allah Yang Maha Pencipta. Seluruh ubun-ubun hambahamba- Nya ada di tangan-Nya. Apa yang dikehendaki oleh Allah subhanahu wa ta’ala pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah subhanahu wa ta’ala pasti tidak akan terjadi. Dengan demikian jelas pula kebenaran semua ajaran yang dibawa oleh para rasul tersebut, sebagaimana juga dari bagian pertama tadi kita dapat pula mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala.

Tidak ada jalan bagi seorang hamba di dunia ini untuk memahami hakikat keadaan atau sifat Yaumil Akhir (hari kiamat), bahkan apa dan bagaimana hakikat al-jannah serta an-nar. Bahwa hamba-hamba Allah subhanahu wa ta’ala itu mengetahui sebagian keadaan hari kiamat itu adalah dengan melalui apa yang telah diterangkan oleh para rasul dan yang terdapat dalam kitab-kitab Allah subhanahu wa ta’ala.

Tidak ada jalan bagi penduduk bumi ini untuk sampai ke alam langit, dan tidak ada jalan bagi mereka untuk menghidupkan yang sudah mati, menciptakan ruh pada benda-benda padat. Begitu pula halnya bagian terbesar dari kejadian ini. Dan kami paparkan panjang lebar masalah ini, karena dua hal:

Orang-orang zindiq masa kini yang mengingkari keberadaan (wujud) Allah Yang Maha Pencipta, juga mengingkari semua perkara gaib yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Samawi. Mereka menolak ilmu-ilmu itu kecuali yang dapat ditangkap oleh pancaindra dan teori-teori dari percobaan mereka yang dangkal terhadap sebagian kejadian alam ini. Mereka mengingkari yang selain itu, yakni mengingkari semua yang tidak dapat dibuktikan secara eksperimental.

Mereka menganggap bahwa alam ini dan gejala-gejala (hukum-hukum) alam yang ada di dalamnya, tidak mungkin dapat diubah atau mengubah suatu sebab. Menurut mereka juga, alam ini dengan semua perangkatnya terjadi secara tiba-tiba bukan karena adanya yang menciptakan. Alam ini berjalan dengan sendirinya, tidak ada Yang Mengatur, Pencipta atau Rabb (Pemilik atau Penguasa).

Padahal semua penganut agama yang ada mengakui betapa sombong dan angkuhnya mereka. Orang-orang zindiq (atheis) ini, di samping mengingkari ajaran agama, juga sesungguhnya telah kehilangan akalnya. Hal ini karena mereka telah menentang hakikat yang paling nyata dan jelas, bahkan bukti dan tanda kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang paling besar. Mereka tersesat dengan akal mereka yang sempit dan pemikiran mereka yang rusak. Urusan mereka sebetulnya sudah sangat jelas.

Sebagian ulama masa kini yang terlihat (seakan-akan) membela Islam, masuk bersama orang-orang zindiq ini dalam suatu perdebatan tentang masalah ini. Harapan mereka, bahwa dengan ijtihad atau ketertipuan mereka dapat menyesuaikan sunnah-sunnah ilahiyyah ke dalam permasalahan akhirat agar dapat dipahami manusia dengan pancaindra dan teori-teori hasil eksperimen (percobaan) mereka. Melalui cara ini, mereka mencoba membelokkan pengertian mukjizat, menolak ayat-ayat yang sangat jelas.

Namun mereka tidak mendapat manfaat sedikit pun kecuali mudarat yang akan menimpa diri mereka sendiri dan orang-orang yang membaca buku-buku mereka dalam masalah ini. Karena kelemahan iman mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang ditunjukkan dengan menolak adanya mukjizat para nabi ini, melalui tahrif yang membawa kepada keingkaran terhadap mukjizat ini dan keingkaran bahwa semua itu adalah merupakan qadha dan qadar Allah subhanahu wa ta’ala. Karena lemahnya iman mereka pula yang membaca buku para tokoh filsafat (zindiq) ini, serta tidak adanya ilmu dan pengetahuan agama mereka untuk menolak bagian ini.

Ternyata mereka juga sama sekali tidak berhasil menarik orang-orang atheis materialis itu kembali kepada hidayah dan ajaran Islam. Bahkan semakin bertambah jauh mereka tenggelam dalam mazhab itu, ketika melihat orang-orang seperti itu berusaha memasukkan nash-nash (dalil dari ayat dan hadits) dan mukjizat para nabi ini ke dalam ilmu mereka yang dangkal yang hanya didasari hasil-hasil teori dan pengamatan pancaindra. Sungguh alangkah besarnya musibah ini, dan betapa kejinya kejahatan yang dihiasi. Akan tetapi memang, kelemahan ilmu serta kekaguman terhadap orang-orang zindiq atheis ini tentu akan mendorong seseorang untuk tunduk menerima ucapan-ucapan mereka. Tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.

Pelajaran lain dari kisah ini, hukuman terbesar yang dialami seorang manusia adalah jika dia menjadi imam atau pemimpin suatu kejahatan dan juru dakwah yang mengajak kepada kejahatan tersebut. Sebagaimana dikatakan bahwa nikmat terbesar yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada seorang manusia adalah menjadikannya sebagai imam atau pelopor (pemimpin) dalam kebaikan, sebagai pemberi petunjuk sekaligus terbimbing. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang Fir’aun dan orang-orang yang seperti dia,

وَجَعَلۡنَٰهُمۡ أَئِمَّةٗ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلنَّارِۖ

“Dan Kami jadikan mereka imam-imam yang mengajak kepada neraka.” (al-Qashash: 41)

Untuk yang kedua, Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
وَجَعَلۡنَا مِنۡهُمۡ أَئِمَّةٗ يَهۡدُونَ بِأَمۡرِنَا

“Dan Kami jadikan mereka sebagai imam-imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami.” (as-Sajdah: 24)

Dalam kisah ini, terdapat sisi pendalilan benarnya risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan kisah ini atau yang lainnya secara terperinci, sesuai dengan kenyataan untuk menjadi suatu patokan yang sesuai. Suatu kisah yang membenarkan para rasul, dan dukungan terhadap kebenaran yang nyata. Padahal beliau tidak menyaksikan sedikit pun kejadian itu, dan tidak pula mempelajarinya sedikit pun sehingga mengetahui kejadian tersebut secara terperinci. Bahkan beliau tidak pernah duduk dan menimba ilmu dari seorang ulamapun.

Semua ini tidak lain adalah risalah dari Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, wahyu yang diturunkan kepadanya oleh Allah Yang Mahamulia lagi Maha Pemberi anugerah agar beliau memberi peringatan kepada seluruh manusia dengan wahyu ini. Oleh karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan pada bagian akhir kisah ini:
وَمَا كُنتَ بِجَانِبِ ٱلطُّورِ

“Dan tidaklah kamu berada di dekat Gunung Thur.” (al-Qashash: 46)
وَمَا كُنتَ بِجَانِبِ ٱلۡغَرۡبِيِّ إِذۡ قَضَيۡنَآ إِلَىٰ مُوسَى

“Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa.” (al-Qashash: 44)
وَمَا كُنتَ ثَاوِيٗا فِيٓ أَهۡلِ مَدۡيَنَ

“Dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Madyan.” (al-Qashash: 45)

Semua ini adalah satu dari bukti-bukti kebenaran risalah beliau.

Sebagian ulama menyebutkan pelajaran dari jawaban Nabi Musa ‘alahissalam ketika ditanya tentang tongkatnya dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَمَا تِلۡكَ بِيَمِينِكَ يَٰمُوسَىٰ ١٧ قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّؤُاْ عَلَيۡهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي

“Dan apa yang di tangan kananmu itu, hai Musa? Berkata Musa:” Inilah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku….” (Thaha: 17—18)

Yaitu dianjurkan menggunakan tongkat karena ada manfaat tertentu dan untuk keperluan lain, seperti disebutkan dalam lanjutan ayat itu,
وَلِيَ فِيهَا مَ‍َٔارِبُ أُخۡرَىٰ ١٨

“… dan bagiku ada lagi keperluan lain padanya.” (Thaha: 18)

Dari ayat-ayat ini dapat dipetik pelajaran adanya kasih sayang terhadap hewan ternak, berbuat kebaikan dan berusaha melepaskannya dari hal-hal yang menyusahkannya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ ١٤

“Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)

Ingatnya seorang hamba kepada Rabb-nya itulah yang menjadi tujuan dia diciptakan dan di situlah kebaikan dan keberuntungannya. Tentunya tujuan menegakkan shalat itu adalah juga menegakkan tujuan utama ini. Kalau bukanlah karena shalat itu selalu berulang-ulang dikerjakan orang-orang mukmin dalam sehari semalam untuk mengingatkan mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala, di mana dalam shalat itu mereka terikat untuk selalu membaca al-Qur’an, memuji Allah subhanahu wa ta’ala, berdoa kepada-Nya, tunduk merendah kepada-Nya yang mana hal ini adalah ruh dari zikir tersebut.

Kalaulah bukan karena kenikmatan ini tentulah mereka termasuk orang-orang yang lalai. Zikir (mengingat Allah subhanahu wa ta’ala) itu adalah tujuan utama dari penciptaan makhluk. Seluruh peribadatan itu tidak lain adalah dzikrullah (mengingat Allah subhanahu wa ta’ala). Zikir itu akan membantu seseorang melaksanakan ketaatan meskipun hal itu berat dirasakannya. Zikir itu meringankan seseorang untuk menghadapi para penguasa yang sewenang-wenang, memudahkannya berdakwah mengajak manusia ke jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَيۡ نُسَبِّحَكَ كَثِيرٗا ٣٣ وَنَذۡكُرَكَ كَثِيرًا ٣٤

“Supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan banyak mengingat Engkau.” (Thaha: 33—34)
ٱذۡهَبۡ أَنتَ وَأَخُوكَ بِ‍َٔايَٰتِي وَلَا تَنِيَا فِي ذِكۡرِي ٤٢

“Pergilah engkau dan saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan janganlah kamu berdua lalai mengingat- Ku.” (Thaha: 42)

Kebaikan Nabi Musa ‘alahissalam terhadap saudaranya Nabi Harun ‘alahissalam, karena beliau memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar Harun juga menjadi nabi bersamanya. Beliau juga mengharapkan adanya bantuan dan pertolongan dalam kebaikan ketika berdoa,

وَٱجۡعَل لِّي وَزِيرٗا مِّنۡ أَهۡلِي ٢٩ هَٰرُونَ أَخِي ٣٠ ٱشۡدُدۡ بِهِۦٓ أَزۡرِي ٣١ وَأَشۡرِكۡهُ فِيٓ أَمۡرِي ٣٢

“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku, dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.” (Thaha: 29—32)

Kefasihan dan keterangan yang jelas adalah hal-hal yang sangat membantu dalam memberikan pelajaran dan dakwah. Karena itu, Nabi Musa ‘alahissalam meminta agar Allah subhanahu wa ta’ala melepaskan kekakuan lidahnya supaya mereka mengerti perkataannya. Lidah yang celat (gagap) bukanlah suatu aib selama ucapan masih dapat dipahami. Salah satu adab Nabi Musa ‘alahissalam bersama Rabbnya, beliau tidak meminta agar Allah subhanahu wa ta’ala menghilangkan secara keseluruhan celat dari lidahnya. Namun beliau hanya meminta agar dihilangkan apa-apa yang dengan hilangnya perkara tersebut tercapailah tujuan yang diinginkan.
Perlunya sikap dan kata-kata yang lemah lembut ketika berbicara dengan seorang raja, penguasa atau pemimpin, dan mendakwahi atau menasihati mereka. Hal itu akan memberikan pemahaman kepada mereka tanpa harus menimbulkan keributan atau kekerasan. Hal ini sangat diperlukan dalam keadaan apa pun juga. Akan tetapi, sudah tentu hal ini sangat diperlukan dalam persoalan-persoalan penting seperti dakwah ini. Yaitu jika diperlukan dengan sikap ini tujuan yang diharapkan, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ ٤٤

“Mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Thaha: 44)

Barang siapa yang berada dalam taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, selalu memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, yakin dengan kebenaran janji Allah subhanahu wa ta’ala, mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wa ta’ala, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala bersamanya sehingga tidak ada lagi kekhawatiran padanya, karena firman Allah subhanahu wa ta’ala, (“Janganlah kamu berdua merasa takut”) diteruskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan:

قَالَ لَا تَخَافَآۖ إِنَّنِي مَعَكُمَآ أَسۡمَعُ وَأَرَىٰ ٤٦

“Sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” (Thaha: 45)

Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِذۡ يَقُولُ لِصَٰحِبِهِۦ لَا تَحۡزَنۡ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَنَاۖ

“Di waktu dia berkata kepada temannya, ‘Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita’.” (at-Taubah: 40)

Sebab-sebab turunnya azab Allah subhanahu wa ta’ala, adalah adanya dua keadaan ini:

إِنَّا قَدۡ أُوحِيَ إِلَيۡنَآ أَنَّ ٱلۡعَذَابَ عَلَىٰ مَن كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ ٤٨

“Sesungguhnya telah diwahyukan kepada kami, bahwa azab itu akan ditimpakan atas orang-orang yang mendustakan dan berpaling.” (Thaha: 48)

Yaitu mendustakan semua berita yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala dan para rasul-Nya; berpaling dari ketaatan terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dan para rasul-Nya. Sama seperti ini juga adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَا يَصۡلَىٰهَآ إِلَّا ٱلۡأَشۡقَى ١٥ ٱلَّذِي كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ ١٦

“Tidak ada yang masuk ke dalamnya (an-naar) kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan dan berpaling.” (al-Lail: 15—16)

Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِنِّي لَغَفَّارٞ لِّمَن تَابَ وَءَامَنَ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا ثُمَّ ٱهۡتَدَىٰ ٨٢

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (Thaha: 82)

Di sini Allah subhanahu wa ta’ala mengungkapkan semua sebab atau jalan yang mendatangkan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu:

At-Taubah (bertaubat), yakni rujuk dari segala perkara yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala lahir dan batin, kepada semua yang dicintai oleh Allah subhanahu wa ta’ala lahir dan batin. Tobat ini akan memutuskan dosa-dosa sebelumnya, besar ataupun kecil.
Al-Iman (beriman), yaitu pernyataan keyakinan dan pembenaran yang pasti yang meliputi semua yang diberitakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul- Nya, yang menumbuhkan amalan dalam hati. Kemudian diikuti dengan amalan yang dilakukan oleh anggota tubuh. Tidak diragukan lagi bahwa apa yang di dalam hati, berupa keimanan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya dan hari akhir (hari kiamat) merupakan landasan dan asas ketaatan yang paling utama.

Tidak disangsikan pula bahwa sesuai dengan tingkat kekuatan iman tersebut, dia akan menjauhi keburukankeburukan; menolak hal-hal yang belum terjadi sehingga menghalangi orang yang beriman itu agar tidak terjatuh pada keburukan itu. Iman itu juga akan menjauhkan apa yang sudah terjadi dengan mendatangkan perkara yang dapat menghapusnya dan tidak ada keinginan untuk terus-menerus melakukannya di dalam hati. Seorang mukmin yang di dalam hatinya terdapat keimanan dan cahayanya, tidak akan mengumpulkan kemaksiatan.

Amal saleh, ini mencakup semua amalan hati, anggota badan dan perkataan. Kebaikan itu akan menghapus kejelekan.
Terus-menerus di atas keimanan dan hidayah serta menambahnya. Barang siapa yang menyempurnakan keempat sebab ini, hendaklah dia bergembira dengan maghfiratullah (ampunan Allah subhanahu wa ta’ala) yang menyeluruh. Oleh sebab inilah, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat-Nya ini dalam bentuk mubalaghah (menunjukkan lebih), “dan sesungguhnya Aku Maha ”

Kami cukupkan sampai di sini kisah Nabi Musa ‘alahissalam dengan pelajaran berharga yang termuat dalam kisah tersebut bagi mereka yang mau memerhatikan. (Diterjemahkan dari Taisir al-Lathifil Mannan, hlm. 180—187, karya asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah)

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar

Sumber : Asy Syariah Edisi 011, Ibrah

 

By

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.