Oleh :
đŸ’»Â  Al Ustadz Muhammad bin Umar As-Sewedhafidzahullah

1. Persaksian Khadijah bintu Khuwailid -radiallahu ‘anha-
Manusia secara fitrah dapat membedakan seorang yang jujur dan seorang yang dusta, bahkan pada pengaku-pengaku penemuan tertentu sekalipun mudah dibuktikan siapa yang jujur dan siapa yang dusta. Apalagi seorang Nabi dengan seorang pengaku Nabi, yang tentunya di dalam kenabian terkandung ilmu, amal dan sifat-sifat mulia yang harus ada. Maka tentunya akan mudah sekali dibedakan antara Nabi yang diutus oleh Allah dengan para pendusta-pendusta pengaku Nabi.
Bagaimanapun seorang menutupi kebohongannya pasti akan tergelincir dan terlepas dari mulutnya atau dari sikapnya yang menunjukkan kalau dia berdusta. Demikianlah apa yang Allah taqdirkan kepada para pendusta agar terbukti kedustaannya. Allah berfirman :
“Dan kalau Kami menghendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dengan tanda-tandanya. Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka dan Allah mengetahui perbuatan-perbuatan kamu”.(Muhammad : 30)Demikianlah sebagaimana dikatakan; “Bagaimanapun seorang menyembunyikan kedustaan, kecuali pasti Allah akan tampakkan pada raut wajahnya dan ketergelinciran lidahnya”.
Oleh karena itulah Khadijah bintu Khuwailid -radiallahu ‘anha- mengenali bahwa suaminya adalah seorang yang jujur terpercaya karena dia kenal betul sikap dan perangai suaminya sejak umur 25 tahun sampai umur 40 tahun.
Maka ketika Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- mendapatkan wahyu, beliau ketakutan dan berkata :
“Sungguh aku mengkhawatirkan diriku”. (Yakni mengkhawatirkan kejelekan pada dirinya).
Khadijah berkata :”Tidak! demi Allah! Allah tidak mungkin menghinakanmu, karena engkau menyambung silaturahim, berkata jujur, membantu yang kesusahan, menghormati tamu, memberi kepada yang tidak punya dan banyak membantu sisi kebenaran”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Ucapan ini menunjukkan bahwa Khadijah tidak khawatir sama sekali atas kedustaan suaminya, karena terlihat di wajahnya bahwa ia benar-benar ketakutan yakni ketakutan kalau-kalau terjadi suatu kelainan jiwa pada dirinya. Maka Khadijah yang kenal betul dengan beliau dan yakin betul kejujuran beliau menyatakan; tidak mungkin Allah akan menimpakan sesuatu yang menghinakannya.

2. Persaksian Raja Najasi
Demikian pula Raja Najasi ketika dikahabarkan kepadanya berita tentang Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dan dibacakan kepadanya Al-Qur’an, serta merta ia berkata : “Sesungguhnya agama ini dan apa-apa yang dibawa Musa -’alaihi sallam- adalah keluar dari sumber yang sama”. (H.R. Ahmad dalam Musnadnya, di hasankan oleh Syaikh Al-Albani -rahimahullah-)
Ini lebih membuktikan kebenaran Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- karena antara Raja Najasi dengan Rasulullah tidak ada hubungan apapun. Tetapi toh ia juga mempersaksikan kebenaran risalah Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-.

3. Persaksian Waroqoh bin Naufal
Demikian pula apa yang terjadi pada Waroqoh bin Naufal -seorang Nasrani yang bisa membaca kitab Injil bahkan menulisnya dalam bahasa Arab- ketika dikhabarkan oleh Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- tentang apa yang dilihatnya di gua Hira, ketika itu Khadijah berkata kepadanya : “Wahai pamanku dengarkan apa kata anak saudaramu ini!”, maka Nabipun mengkhabarkan kepadanya, kemudian Waroqoh bin Naufal berkata : “Itu adalah Namus (Jibril) yang dulu mendatangi Musa”. (H.R. Bukhari dan Muslim)

4. Persaksian dari Raja Heraqlius
Persaksian berikutnya dari Raja Heraqlius, Raja Romawi, ketika datang surat kepadanya mengkhabarkan tentang Nabi dan mengajaknya ke dalam Islam, iapun mencari ornag-orang Arab yang ada di sekitar kerajaannya, maka didatangkanlah Abu Sufyan yang ketika itu masih kafir dan sekelompok orang-orang Quraisy yang berdagang di Syam. Heraqliuspun bertanya kepada Abu Sufyan dan memerintahkan kepada yang lainnya kalau ia berdusta dustakanlah. Yakni kalau mereka diam berarti mereka sepakat atas kebenarannya, kemudian mulailah Heraqlius (H) bertanya kepada Abu Sufyan (A) :
H:“Apakah pada nenek moyangnya ada yang menjadi raja?”
A : “Tidak ada”.
H:“Apakah sudah ada orang yang berkata dengan ucapan itu sebelumnya?”
A : “Tidak ada”.
H:“Apakah dia memiliki nasab diantara kalian?”
A : “Ya”.
H:“Apakah diantara kalian ada yang menuduhnya berdusta sebelum ia menyampaikan ucapan itu?”
A:“Tidak, kami tidak pernah mendapatinya berdusta”.
H:“Apakah pengikut-pengikutnya dari kalangan orang-orang lemah diantara mereka atau dari kalangan orang-orang mulianya?”
A: “Orang-orang lemahlah pengikutnya”.
H:“Apakah pengikutnya semakin bertambah atau berkurang”.
A: “ Semakin bertambah”.
H: “Apakah ada yang murtad dari agamanya karena benci dan kecewa padanya setelah pengikutnya itu masuk dalam ajarannya?”
A: “Tidak”.
H: “Apakah kalian memeranginya?”
A: “Ya”.
H: “ Bagaimana peperangan antara dia dan kalian?”
A:“Kadang-kadang mereka mengalahkan kami dan kadang-kadang kami yang mengalahkan mereka”.
H: “Apakah dia pernah berkhianat?”
A: “Tidak pernah”.
H:“Pengajaran apa yang dia perintahkan kepada kalian?”
A:“Dia memerintahkan kami agar beribadah kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun. Dan melarang apa-pa yang telah di sembah nenek moyang kami, memerintahkan untuk mengerjakan shalat, berbuat jujur, menjaga kehormatan dan menyambung silaturahmi”.
Itulah sepuluh pertanyaan lebih yang diajukan Heraqlius kepada Abu Sufyan, kemudian Heraqlius menjelaskan kepada Abu Sufyan alasan-alasan yang menyebabkan ia mengajukan beberapa pertanyaan itu, ia berkata;
H: “Aku bertanya kepada kalian apakah diantara nenek moyangnya ada yang menjadi raja, dan kalian menjawab tidak. Aku tanyakan demikian karena; jika diantara nenek moyangnya ada yang menjadi raja, niscaya aku akan katakan: Dia adalah seorang yang menuntut tahta warisan kerajaan nenek moyangnya”.
“Aku bertanya kepada kalian apakah sudah ada sebelumnya seorang yang menyampaikan perkataanya itu, kalian menjawab tidak. Maka aku katakan, kalau saja sudah diucapkan ucapan itu sebelumnya aku akan katakan bahwa dia adalah orang yang ikut-ikutan dengan orang yang sebelumnya”.
“Aku tanyakan kepada kalian apakah kalian menuduhnya berdusta sebelum dia mengucapkan hal tersebut?kalian jawab tidak. Maka aku katakan aku mengetahui, tidak mungkin dia meninggalkan dusta kepada manusia, kemudian tiba-tiba ia berdusta atas nama Allah”.
“Aku bertanya kepada kalian apakah orang-orang lemah yang mengikutinya atau orang-orang mulia? Lalu kalian menjawab, bahkan orang-orang lemah yang mengikutinya. Maka aku katakan, demikianlah pengikut para Rasul di awal pertama dakwah mereka”.
“Aku tanyakan kepada kalian apakah bertambah pengikutnya atau berkurang? Kalian menjawab bahkan bertambah, maka demikianlah keimanan akan bertambah sampai sempurna”.
“Aku tanyakan pula kepada kalian apakah ada yang murtad dari agamanya karena marah dan kecewa setelah masuk di dalamnya? Kalian katakan tidak, demikianlah iman jika sudah masuk ke dalam hati seseorang maka tidak akan membencinya seorangpun”.
“Aku tanyakan kepada kalian bagaimana peperangan diantara kalian? Kalian jawab seimbang, demikianlah para Rasul diuji dan pasti akhirnya mereka akan menang”.
“Aku juga bertanya kepada kalian apakah dia pernah berkhianat? Kalian katakan tidak, demikianlah akhlak para Rasul tidak mungkin berkhianat”.
“Dan aku tanyakan kepada kalian tentang apa yang diperintahkannya? Kalian katakan bahwa ia memerintahkan untuk beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apapun, memerintahkan kalian untuk shalat, menjaga diri, silaturahmi dan melarang kalian apa-apa yang disembah oleh nenek moyang kalian. Maka sungguh ini adalah sifat seorang Nabi dan aku telah mengetahui akan ada seorang Nabi yang diutus. Namun aku tidak menyangka kalau ia akan diutus di tengah kalian, sungguh aku ingin kalau aku bisa lolos untuk menemuinya. Kalau saja tidak karena keadaanku sebagai seorang Raja niscaya aku akan berangkat menemuinya, sungguh kalau apa yang kalian katakan benar, niscaya dia akan menguasai tempat yang aku pijak ini”. (H.R. Bukhari -Muslim)
Perlu diketahui bahwa yang diajak bicara ketika itu oleh Raja Heraqlius adalah Abu Sufyan Ibnu Harb, yang waktu itu masih kafir bahkan memimpin peperangan melawan kaum muslimin. Ini menjadi bukti yang lebih kuat lagi tentang benarnya kenabian Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam-.
Abu Sufyan menceritakan setelah masuk Islamnya :”Sungguh aku waktu itu, ketika aku keluar dari istana Raja Heraqlius, aku berkata, sungguh telah menjadi besar urusan Ibnu Abi Kabsyah (Yakni Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-), bagaimana bisa sampai-sampai dia dimuliakan oleh Raja Bani Ashfar (Romawi). Dan aku sejak itu yakin bahwa urusan Nabi -shallallahu’alaihi wa sallam- akan menjadi besar hingga Allah memasukkan islam ke dalam hatiku”.(H.R. Bukhari dan Muslim)

5. Persaksian kaum musyrikin Quraisy
Dalam riwayat Ibnu Abbas -radiallahu ‘anhu- disebutkan:”Ketika turun ayat: “Berilah peringatan kepada kerabat-kerabat terdekatmu”. (Asy-syu’araa’:214)
Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- keluar dan menaiki Bukit Shofa lalu berteriak: “Wahai Bani Fihri! Wahai Bani ‘Adi! Anak keturunan Quraisy!” – dalam riwayat lain- “Wahai Bani fulan! Wahai Bani Abdu Manaf! Wahai Bani Abdul Muththalib!”
Sehingga orang-orang ramai menghampiri dan berkumpul, bahkan yang tidak mampu mendatanginya, mengutus orang agar hadir dan menyaksikan; ada apa gerangan? Dan diantara mereka datang pula Abu Lahab dan pembesar Quraisy lainnya.
Kemudian Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- bersabda: “Apa pendapat kalian sekiranya aku khabarkan kepada kalian bahwa ada sepasukan tentara berkuda diantara lembah ini datang untuk menyerang kalian. Apakah kalian mempercayaiku?” Mereka menjawab: “Kami tidak pernah mendapati kamu kecuali dalam keadaan jujur”. -dalam riwayat lain- “Kami tidak pernah mendapati kamu dalam keadaan dusta”.(H.R. Bukhari dan Muslim)
Demikianlah pembuktian kebenaran risalah dakwah Rasulullah -shalallahu’alaihi wa sallam- sangat jelas dan terang. Adapun kedustaan akan dipercaya sesaat, kemudian akan terbukti kedustaannya.
Dan sungguh tidak layak untuk membandingkan Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- dengan nabi-nabi palsu yang bermunculan setelahnya. Mereka hanyalah para pendusta yang mencari ketenaran, kekayaan, atau orang-orang stress yang dikuasai oleh jin . Allahpun membantah tuduhan orang-orang musyrik dan kafir yang menuduh Rasulullah -shallallahu’alaihi wa sallam- terkena jin dan Allah katakan bahwa orang-orang yang mudah dikuasai oleh jin adalah para pendusta-pendusta itu.
“Apakah mau Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syaitan-syaitan itu turun? Mereka turun kepada para pendusta lagi banyak dosa. mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaitan) itu, dan kebanyakan mereka adalah para pendusta. Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap-tiap lembah. dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan (nya)?”(Asy-Syu’araa’:221-226)

Sumber :

📇 Risalah Dakwah Manhaj Salaf Edisi 25 / th.IV –29  R a j a b  1429 H / 01  Agustus 2008 M

By

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.